![]() |
Teman, aku punya tiga kisah. Kisah tentang sahabatku yang semoga
dapat kita ambil hikmahnya
Cerita Pertama
Cerita Pertama
Ia sahabatku, sahabat setiaku. Aku memahaminya, dan ia pun
sangat memahamiku. Ia seorang yang sederhana, dari keluarga sederhana, dan
memiliki impian sederhana. Pertemuanku dengannya sebetulnya bisa dibilang by
accident. Namun atas izinNya, kami pun berteman, saling mengenal, bertukar
cerita, berdiskusi, dan sebagainya.
Waktu berlalu, dengan kesibukan masing-masing kami pun sudah
jarang bertemu. Jika ada momen-momen yang memungkinkan kami berbincang, maka
kami sempatkan waktu itu untuk memanfaatkannya menjadi sebuah pertemuan yang
berkualitas. Namun jika tidak –dalam sebuah rapat organisasi misalnya- kami
hanya bisa saling memandang, saling menerobos ruang hati lalu bergumam, “Apa
kabarmu wahai sahabatku?” dan aku pun hanya mendapatkan jawaban dari
senyuman dan tatapan matanya.
Terkadang jika aku sempat, kudatangi ia di rumahnya, kuberikan
kejutan. Ia nampak begitu senang. Aku pun turut senang untuknya. Lalu kami
memutar sebuah album nasyid, bernyanyi bersama, tertawa bersama. Ah, indah
sekali mengenangnya.
Tiga tahun lalu, ia menikah. Aku begitu antusias membantunya
menyiapkan pernikahan. Kulakukan apa yang mampu kulakukan untuknya. Aku sungguh
ikut berbahagia dengan pernikahannya. Menemaninya di momen-momen penting dalam
hidupnya. Walau aku sadar, ia akan memiliki kehidupan yang baru. Tanggung jawab
dan kewajiban sebagai istri, juga sebagai seorang ibu kelak. Namun, aku yakin
ada ikatan yang kokoh di antara kami.
Satu tahun lebih setelah pernikahannya, ia dikaruniai seorang
anak. Cantik namanya, secantik maknanya. Namun disinilah Allah menguji
sahabatku. Anaknya menderita penyakit bawaan yang dapat membuatnya cacat mental
(down syndrome). Bayi mungil nan cantik itu seringkali diserang
kejang-kejang pada beberapa bagian tubuhnya dan mengakibatkan otaknya menciut.
Sedih hatiku melihatnya, namun selalu kutampakkan wajah penuh optimisme pada
ibunya, bahwa ia harus yakin… masih banyak yang bisa diusahakan, bahwa teknologi
terkini akan mampu mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Bahwa jika pun
nanti anaknya menderita epilepsi, semua masih bisa dikendalikan. Bahkan seorang
Galileo, Newton dan banyak orang hebat lainnya adalah penderita epilepsi.
Di tengah cobaan yang menggiriskan itu, cobaan lain pun datang
menghampiri sahabatku. Suami dan keluarganya menentang pengobatan medis, dan
menyuruhnya berobat ke orang pintar. Ia bercerita padaku sambil terisak. Geram
aku mendengarnya. Bagaimana mungkin suaminya yang seorang sarjana bisa lebih
percaya pada dukun?! Komunikasi sudah cacat fungsi. Suaminya hanya bisa
menuruti kata-kata ibunya. Sahabatku bingung setengah mati, memilih antara
logika yang sehat dan loyalitas pada suami. Beruntung, hari itu hujan deras.
Sang dukun pun tak jadi datang.
Berbulan berikutnya, aku singgah ke rumahnya. Ia masih mengajar
di sebuah sekolah swasta, sambil mengasuh seorang anak yang istimewa.
Alhamdulillah, kini suaminya telah mengerti dan mengupayakan pengobatan terbaik
bagi anak mereka.
Kabar terakhir kudengar, sahabatku itu telah hamil lagi. Namun
aku yakin padanya, pada semangatnya yang sederhana namun mempesona, pada
senyuman yang penuh ketegaran, pada pengabdian yang penuh keikhlasan.
Cerita Kedua
Ia sahabatku. Teman satu sekolah saat SMP dulu. Ia pintar namun
sungguh pemalu. Aku ingat ketika dulu waktu pelajaran seni suara, ia bernyanyi
dengan merdu namun matanya tak berani menatap seisi kelas, ia malu. Prestasinya
sungguh membanggakan. Bayangkan saja, di antara ribuan siswa ia nomor satu. Ya,
kecerdasannya tak perlu diragukan lagi.
Di sekolah menengah, aku tak tahu lagi kabarnya karena kami
memang melanjutkan sekolah di kota yang berbeda. Kudengar ia masih berprestasi,
seperti dulu.
Beberapa tahun kemudian, saat aku kembali ke kota kecil itu, aku
berjumpa kembali dengannya. Namun siapa sangka, dunia seolah tak berpihak
padanya. Wajahnya sendu, lebih tepatnya muram. Ia tengah berperang dengan para
petinggi civitas akademika. Berperang batin antara nurani, keculasan dan logika.
Ia ingin idealismenya tegap tertegak. Namun, dunia pendidikan yang ia temui
sungguh otoriter, dimana kecerdasan tak lagi dicari, kreativitas dan inovasi
tak lagi laku. Semuanya uang dan keangkuhan.
Sahabatku tetap berjalan di jalan yang ia pilih. Walau ia pada
akhirnya lulus kuliah dengan nilai yang tidak memuaskan. Namun, ia tetap tegar
dan melanjutkan hidup. Bagiamanapun, penilaian manusia pada dasarnya semua
relatif. Apalah artinya nilai A jika pemahaman kita hanya sebatas kata-kata
tanpa mampu menyelami maknanya?
Beberapa saat setelah lulus kuliah, ia mengajar sebagai tenaga
honor di salah satu sekolah negeri. Realita yang menggiriskan pun kembali ia
temui. Ia menerima gaji namun angka yang tertera di kertas, jauh di atas
nominal yang ia terima. Dan ia dipaksa nasib untuk membubuhkan paraf di kertas
yang penuh rekayasa itu.
Aku benci mendengarnya. Benci meilhat sahabatku yang dizholimi
dan dikebiri haknya. Benci dengan sistem dan segala tipu daya pengagung dunia.
Benci.
Aku hanya bisa menghibur sahabatku, bahwa rezeki Allah lah yang
mengaturnya. Bahwa Allah Maha adil dan takkan meninggalkan hamba-hambaNya.
Bahwa bersabar adalah obat segala-galanya.
Beberapa waktu lalu, aku mendengar kabar mengejutkan sekaligus
menyenangkan. Sahabatku itu kini telah lulus PNS di salah satu kota Propinsi
Sumatera Selatan. Murni. Tanpa sogokan yang dilakukan kebanyakan orang.
Subhanallah… walhamdulillah… Semoga engkau senantiasa dalam lindunganNya,
sahabatku…
Cerita Ketiga
Ia sahabatku, salah satu penggemar karya-karya anak Belitong
yang nyentrik tapi menarik itu –Andrea Hirata- sama sepertiku. Pemikirannya
biasa saja, namun kedewasaan dan kemauannya untuk terus belajar dari saiapapun
tak mengenal usia, itulah yang menajdi daya tarik pribadinya.
Suatu saat, ia diuji oleh Allah. Di siang yang tenang, ia tengah
membuat bakso, membantu bisnis mertuanya yang memang tengah berkembang. Entah
kenapa, kali itu ia tak memakai sandal. Tak seperti biasanya. Beberapa saat
kemudian setelah menggiling daging, tiba-tiba ia terpeleset. Mencegah jatuh,
tangan kirinya reflek menggapai-gapai sekitar. Disinilah tragedi itu berawal,
tangan kirinya yang tak terkendali itu masuk ke dalam mesin giling daging yang
ternyata belum dimatikan.
Jari-jarinya mulai tertarik dan dilumat oleh besi-besi
penggiling itu. Namun ia hanya bisa menjerit tanpa mampu mematikan mesinnya.
Detik terus berjalan, mesin itu pun meremukkan jemarinya tanpa ampun. Orang
yang melihat kejadian itu panik, hanya bisa ternganga, terdiam, tak kuasa
menolongnya. Akhirnya, dengan menahankan rasa sakit, ia berusaha mematikan
sendiri mesin itu. Dan bersaranglah keempat jari-jari tangan kirinya, terjepit
di antara besi-besi.
Semua orang akhirnya berkumpul membantunya, namun tak ada yang
bisa dilakukan karena saat jemari itu ditarik, maka akan terasa perih yang
sangat dahsyat. Tak ada jalan lain, mesin itu harus dibongkar. Perlu waktu 1
jam untuk mengeluarkan jemari itu. Dan setelah ditangani oleh dokter di rumah
sakit tempatku dulu bekerja, butuh waktu 2 jam untuk menanganinya. Seperti yang
diduga oleh rekan-rekan perawat yang mengerti tentang ini, akan ada
kemungkinan-kemungkinan terburuk. Mengingat banyak sekali otot-otot kecil di
jemari itu yang sudah berpindah satu sama lain, tak bisa disatukan lagi.
Rangkanya pun telah remuk, seremuk hati sahabatku saat itu.
Saat menemuinya, hatiku ngilu. Namun ia masih tersenyum seperti
biasanya. “Mungkin saya ini banyak dosa, dan Allah menjadikan ini sebagai jalan
untuk mendapat ampunan dan hidayahNya”, ujarnya.
Ah, aku salut akan ketabahannya.
Sahabatku itu menjalani beberapa operasi. Dan kini, jemari
tangan kirinya tinggal tiga, namun semangat hidupnya bertambah. Ia kini
berbahagia dalam hidayah. Dua jarinya telah tiada namun kehilangan itu
membuatnya mendapatkan pelajaran yang sangat berharga.
Sewaktu pulang kemarin, mendapat kabar dariku bahwa aku membawa
karya Andrea Hirata terbaru, Padang Bulan, ia mampir. Aku senang melihatnya
ceria, semangatnya masih seperti dulu. Ia seolah telah lupa tentang kehilangan.
Subhanallah… hidupnya tercerahkan dengan ujian.

The Real Deal: How To Gamble On the Internet - Dr.MCD
BalasHapusIn the mid-1990s, when Americans 순천 출장샵 were more 밀양 출장샵 likely 동해 출장샵 than ever to play casino games, the world's leading 정읍 출장마사지 gambling 영천 출장샵